top of page

Parentification: Ketika Anak Dipaksa Menjadi Dewasa

Di saat seseorang memutuskan untuk menjadi orang tua, maka ia siap menjalani perannya.”


Peran anak adalah bertumbuh sesuai dengan tahap perkembangan; Memahami bahwa dirinya memiliki kontrol di usia 2 hingga 4 tahun, berusaha menjadi unggul di usia 5 hingga 11 tahun, dan menemukan identitas dirinya di usia 12 hingga 17 tahun. Dengan mengikuti tahap perkembangan, anak dapat mencapai kesejahteraan psikologis yang optimal.

Layaknya anak yang dipaksa untuk membaca sebelum bisa mengenal huruf, melangkahi tahap perkembangan dapat mengganggu proses pembentukan emosi dan identitas, karena anak dipaksa menjadi sesuatu yang belum siap mereka pahami. Oleh karena itu, orang tua berperan penting dalam memberikan dukungan emosional, sosial, moral, dan finansial untuk memaksimalkan pertumbuhan anak.

Sayangnya, masih banyak anak atau remaja yang melangkahi tahap perkembangannya. Fenomena ini dapat disebut sebagai parentification, dimana anak atau remaja dipaksa mengambil peran dan tanggung jawab orang dewasa yang belum sesuai dengan tahap perkembangannya. Contohnya, anak menjadi pencari nafkah, pengurus rumah tangga, penengah orang tua, dan tempat curhat bagi orang tua. Pada tahun 2021, jumlah remaja yang mengalami parentification mencapai 30% (Hooper et al., 2021).

 

Lalu, Apa yang Menyebabkan Parentification?

Parentification dapat terjadi karena orang tua yang melepas peran secara disengaja maupun tidak disengaja (Dariotis et al., 2023). Beberapa penyebabnya antara lain sebagai berikut.

  • Pola asuh otoriter orang tua (kontrol tinggi dan disiplin keras)

  • Pola asuh neglectful orang tua (kontrol dan keterlibatan rendah)

  • Penyakit, perceraian, atau kepergian orang tua

  • Orang tua kehilangan pekerjaan

  • Kekerasan dalam rumah tangga

 

Apa yang Dirasakan Anak dengan Parentification?

Anak yang mengalami parentification mendapatkan tekanan dari ekspektasi orang tua terhadapnya. Menenangkan orang tua saat stres, menjaga suasana hati orang tua, mengurus rumah, belajar tanpa bimbingan di usia yang kecil merupakan beberapa beban yang dialami mereka. Anak akan merasa selalu tertekan, harus bertanggung jawab, dan hanya dapat mengandalkan dirinya dibandingkan.

Pada sebagian keluarga, anak yang mengalami parentification mendapatkan penghargaan atau pengakuan dari keluarga atas tanggung jawab yang berhasil diemban. Penghargaan tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri anak dan membentuk pandangan positif terhadap dirinya sendiri. Pada umumnya, hal ini dapat terjadi ketika anak diberikan dukungan serta bimbingan yang memadai untuk memenuhi semua tanggung jawab tersebut.

            Sebaliknya, anak yang tidak dihargai atas pencapaiannya dapat mengalami tingkat stres yang tinggi, kelelahan emosional, dan perasaan tanggung jawab yang berlebihan. Hal ini disebabkan anak tidak memiliki cukup ruang untuk mengenali dan memproses emosi serta kebutuhannya sendiri. Oleh karena terbiasa mengutamakan kebutuhan orang lain, anak juga mungkin tumbuh dengan identitas yang tercipta atas ekspektasi orang lain.

Anak yang mengalami parentifikasi lebih rentan mengalami gejala depresi dan kecemasan. Mereka juga memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku agresif, menggunakan zat terlarang, dan melukai diri sendiri. Dari aspek sosial, anak dapat mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan pertemanan karena trust issues atau kurang mampu mengomunikasikan kebutuhannya. Dampak-dampak ini dapat berlanjut hingga dewasa apabila tidak segera ditangani (Engelhardt, 2012).

 


Apa yang Dapat Dilakukan?

Meskipun kita tidak memiliki kontrol untuk menghindari parentification saat usia kecil, namun dampak dari parentification dapat disembuhkan.

1.     Menerima dan Merefleksikan Pengalaman Parentification

Refleksikan bagaimana pengalaman masa lalu membentuk pemahaman, perilaku, dan hubungan yang saat ini sedang dijalani. Pahami bahwa parentification bukanlah salah anak dan penghargaan diri tidak datang dari pengakuan orang lain.

2.     Melatih Self-compassion

Berikan kesempatan bagi diri kita untuk memahami dan memprioritaskan kebutuhan diri. Hal ini juga dapat dilakukan dengan belajar mengekspresikan emosi atau perasaan tanpa penilaian.

3.     Fokus pada Personal Growth

Eksplor identitas diri di luar peran sebagai pengganti orang tua. Melibatkan diri dalam aktivitas-aktivitas baru yang sesuai minat dapat menciptakan identitas diri yang lebih kuat dan autentik.

 

"Aku tak memilih masa kecilku, tapi aku bisa memilih bagaimana aku mencintai diriku hari ini." 



 

Sumber:

Hooper, L. M. (2024, August 1). 3 steps to begin healing from parentification. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/invisible-bruises/202408/3-steps-to-begin-healing-from-parentification 

 

Hooper, L. M., Doehler, K., Jankowski, P. J., & Tomek, S. (2020). Patterns of parentification and their relations to adult attachment and emotional distress. Journal of Child and Family Studies, 29(4), 1111–1125. https://doi.org/10.1007/s10826-020-01723-3 

 

Hooper, L. M., DeCoster, J., & White, N. (2023). Parentification and child functioning: A meta-analytic review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 20(6), 6197. https://doi.org/10.3390/ijerph20061997 

 

Psychology Today. (n.d.). Parentification. Retrieved April 7, 2025, from https://www.psychologytoday.com/us/basics/parentification 

 

Cirbus, R., & Guarnaccia, C. A. (2023). The developmental implications of parentification: Effects on childhood attachment. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/368676095_The_Developmental_Implications_of_Parentification_Effects_on_Childhood_Attachment 

 

 
 
 

Comments


©2022 oleh Relive Psychological Service Center. Dibuat dengan bangga menggunakan Wix.com

bottom of page